On The Spot

Idola Cilik yang merusak

Menyimak sebuah acara anak-anak, “Idola Cilik” oleh sebuah stasiun TV swasta (RXXX), ku sangat prihatin. Sebuah acara yang menampilkan anak-anak untuk lomba menyanyi dan dijadikan idola.

Yang terlihat, anak-anak itu menyanyikan lagu-lagu cinta sebagaimana orang dewasa. Bertingkah (ketika menyanyi) bak orang jatuh cinta sebagaimana penyanyi dewasa.

Apakah ini tak merusak anak-anak itu, dan anak-anak lain yang menonton dan mengidolakannya? Kayaknya kok .. iyaa. Ini seperti memaksakan psikologis anak-anak untuk dewasa sebelum waktunya. Hanya demi uang dan popularitas sesaat. Entah itu oleh produser, TV penyelenggara, orang tuanya, atau .. entahlah.

Apakah prestasi yang dapat dijadikan idola itu hanya bidang tarik suara (menyanyi) saja? Dengan syair-syair “ohhh.. cinta cinta dan cinta???”. Ehm … saya kira ada banyak prestasi lain yang lebih membanggakan. Prestasi belajar, kreativitas anak, Olimpiade Fisika/ Matematika, dllll .. itu jauh lebih mendidik.

Berikut ku dapatkan tanggapan dari pemirsa. Ternyata tak banyak yang memprotesnya. Sayang sekali .. belum kulihat ada tanggapan dari pakar anak-anak, atau komisi perlindungan anak, atau pakar yg lain. Bagi saya yang awam ini … tayangan itu (idola cilik rxxx dan semacamnya) adalah membahayakan anak-anak kita, membahayakan generasi muda kita.

.

.

Ku cuplik sebagian dari sumber: http://www.inilah.com/berita/gaya-hidup/2008/05/10/27552/anak-indonesia-dalam-bahaya/
……………………………………

Menyinggung hasil penelitian riset AGB Nielsen Media Research, yang mengatakan bahwa jam tayang program anak di televisi semakin bertambah. Namun, sayangnya ya itu tadi, tidak diimbangi muatan materi yang memang benar-benar layak untuk anak-anak.

Tayangan Idola Cilik di RCTI, misalnya. Meski acara tersebut mempunyai segmen anak-anak, tetapi anak-anak yang tampil dalam acara itu seringkali bersikap seperti orang dewasa.

“Saya merasa prihatin melihat tayangan tersebut,” ungkap Bertha, seorang pelatih vokal yang banyak melatih penyanyi terkenal di Indonesia.

Menurutnya, banyak anak-anak yang tampil dalam acara itu bernyanyi dengan lagak dan busana seperti orang dewasa. Sudah begitu, katanya, lagu-lagu yang dibawakan adalah lagu yang sebenarnya bukan untuk anak-anak.

……………………………….
.

.

Terkutip sebagian dari : http://www.gaulislam.com/mencari-idola-cilik-sejati

edisi 025/tahun I (7 Rabiul Akhir 1429 H/14 April 2008)
Setelah kontes idol-idol remaja yang pamornya semakin tergusur karena satu dan lain hal, Idola Cilik muncul memberi warna baru pada tayangan TV Indonesia. Dengan peserta anak-anak usia 7 - 12 tahun, pihak stasiun TV, dalam hal ini RCTI, berusaha menjaring potensi olah vokal adik-adik kita. Tak terhitung banyaknya calon peserta yang mendaftar untuk audisi, berharap terpilih agar bisa tampil di panggung pertunjukkan di Jakarta.

Boys and Gals, menjadi terkenal dan banyak uang adalah jawaban seragam yang diberikan oleh adik-adik kita yang begitu bernafsu mengikuti audisi (mungkin juga atas desakan dan dukungan ortunya). Jika ini yang dituju, maka rusaklah generasi mendatang.

Adik-adik lugu, tapi…

Usia yang dibidik pihak produser adalah usia dini yang masih sangat labil. Usia yang masih hijau untuk mengerti sebuah makna idola dan diidolakan. Pada usia ini anak-anak cenderung pasrah akan dibentuk menjadi apa dan siapa oleh orangtua dan lingkungannya.

Anak-anak adalah kertas putih yang polos dan bersih. Ia akan mudah sekali ?ditulisi’ oleh sesuatu: bisa baik dan buruk. Ia akan menerima apa saja yang diberikan oleh orang lain terhadap dirinya. Daya tolak mereka lemah sekali.

Anak-anak ini mudah sekali menjadi korban hasrat orangtua yang terpendam. Bila orangtuanya tidak bisa menjadi terkenal, maka anaknya saja yang dipersiapkan menjadi selebritis. Bila orangtuanya tidak bisa bernyanyi, maka anaknya saja yang diikutkan les menyanyi dan ikut lomba ini dan itu agar menang dan terkenal. Syukur-syukur ada produser yang tertarik untuk mengajak rekaman. Lebih hoki lagi bila ada pencari bakat yang mengajak anaknya main sinetron. Wuih…pundi-pundi uang orangtuanya bisa dipastikan akan penuh sesak tuh.

Lucunya, saat ada orang yang peduli dan prihatin dengan kondisi ini, malah dengan entengnya orangtua si anak yang sudah silau dengan uang menjawab, “Ah, itu kan pendapat orang-orang yang iri dengan popularitas anak saya. Itu karena anaknya tidak mempunyai kesempatan untuk menjadi kaya dan terkenal.”

Orangtua seperti ini tak lagi memikirkan kebutuhan anak. Kebutuhan asasi yang dipunyai seorang anak adalah kebutuhan bermain dan berkembang dengan maksimal dalam koridor yang positif. Bagaimana mungkin seorang anak bisa berkembang dengan alami dan maksimal bila sejak kecil ia sudah berkenalan dengan sejumlah make-up, dandanan meniru orang dewasa, aktivitas bejibun seputar konser sana-sini, pemotretan dan syuting sana-sini, dll.

Anak-anak ini kehilangan ruang pribadinya, waktu bermain dan mudah stres atau tertekan karena berada di area dewasa secara mendadak. Apalagi bila umur popularitas itu tak bertahan lama, maka hal ini akan menyebabkan si anak merasa kehilangan perhatian dari khalayak. Peran orangtua dalam hal ini sangat besar dalam membentuk kepribadian anak, apakah akan menjadi sosok rapuh dan semu ataukah menjadi pribadi yang tangguh dan kokoh.

Adik kecil sebagai korban

Idola Cilik menciptakan sebuah dunia lain yang penuh imitasi, semu, dan palsu. Anak-anak pun menjadi besar dalam balutan tubuh yang kecil. Mereka dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Mereka menjadi ?orang dewasa mini’. Menurut seorang psikolog perkembangan anak dari UI, anak-anak seperti ini mengalami loncatan kehidupan dari bermain menjadi bekerja. Gimana nggak, bila sebagian besar waktu mereka habis di lokasi syuting mulai dari persiapan konser, latihan-latihan, permintaan iklan, rekaman untuk nada sambung, atau bahkan main sinetron. Nggak jarang mereka harus bekerja hingga larut malam bila jadwal sudah sedemikian padat. Tak peduli badan yang sudah sangat lelah hingga suara serak dan habis, jadwal syuting harus tetap dijalankan.

Mereka menjadi produk karbitan demi nafsu serakah oknum-oknum budak kapitalis. Gimana nggak, lagu-lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu yang sangat tidak sesuai dengan usia dan perkembangan jiwa anak-anak. Di bawah ini saya kutip dari sebuah mailing list yang prihatin terhadap fenomena idola cilik ini. Berikut tingkah mereka:

“Tak pelnah kulagu dan slalu kuingat kelingan matamu dan sentuhan hangat. Saat itu aku telbawa cinta. Menghilup lindu yang sesakkan dada.. [dinyanyiin sama keponakannya Mona Ratuliu, Kisha]

Yang lebih mengenaskan adalah lirik lagu di bawah ini yang dinyanyikan dengan cadel pula: “Otakmu seksi, itu telbukti dali calamu memikilkan aku. Bibilmu seksi, itu telbukti dali calamu mencium pipiku. Kamulah mahluk Tuhan yang telcipta yang paling seksi. Cuma kamu yang bisa membuatku telus menjelit. Aw aw aw ah ah ah…aw aw aw ih ih ih …” Ancur deh!

Jangankan dinyanyikan oleh anak kecil, sedangkan judul lagunya aja sudah cukup untuk bikin kita merinding. Belum lagi aksi penyanyi aslinya di video klip yang udah terkategori pornografi itu. Bisa dipastikan adik-adik kecil itu telah menontonnya berulang-ulang sebelum akhirnya bisa menghapal lirik lagunya. Sedih rasanya memikirkan sosok generasi mendatang bila fenomena seperti ini yang dijadikan idola.

Sungguh menggiriskan hati. Adik-adik kita menjadi korban dari sebuah gaya hidup fana dan semu. Masih belum puas merusak remaja, perempuan dan ibu atau mama kita dieksploitasi sedemikian rupa, eh adik-adik pun dimangsanya pula. Bukan tak mungkin esok atau lusa, nenek-nenek kita atau bahkan bayi-bayi yang imut diembat juga selama itu bisa mendatangkan materi. Dasar kapitalis!

Materi ini pula yang menjadi penyangga gaya hidup semu ini. Karena sesungguhnya ideologi yang diemban juga nggak jauh-jauh dari sini, Kapitalisme. Kapital atau modal adalah hal yang dikejar dan dipuja melebihi apapun juga. Ditunjang dengan akidah berupa sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), klop sudah ideologi ini merajalela melahap generasi muda untuk menuju jurang kebinasaan. Duhh… akankah semua ini dibiarkan saja?

Entri Populer