On The Spot

Aku Kapok Jadi Caleg DPR

“Aku kapok jadi caleg DPR RI”.
Mungkinkah kalimat ini yang akan keluar dari mulut para calon legislatif di DPR 2009 nanti?

Meskipun tugas utama DPR adalah legislagasi, anggaran dan pengawasan yang didasarkan kepentingan rakyat dan negara, namun tahta, harta, nama dan berbagai fasilitas lah yang menjadi daya pikat terbesar para caleg DPR ketika mereka duduk di Senayan. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar para caleg menjadikan kursi di Senayan sebagai investasi yang sangat menguntungkan jika menang atau buntung jika kalah.Dengan penghasilan rata-rata Rp 40-an juta ke atas, maka selama 5 tahun, seorang DPR akan menjadi miliarder dengan total gaji lebih Rp 2.5 miliar rupiah. Namun, tentu masih ada sebagian dari para caleg yang benar-benar memiliki motivasi untuk mengaspirasikan kepentingan rakyat dan memajukan bangsa ini.

DPR itu apa?

Seorang anggota DPR sudah semestinya adalah orang-orang yang pilihan yang mampu berpikir, berbicara dan berbuat cerdas dan telaten dalam mengerjakan berbagai tugas PENTING dan krusial. Sudah menjadi keharusan tiap caleg DPR mengetahui bahwa menjadi anggota DPR bukan hanya hadir, duduk manis dan menyanyikan lagu setuju. Bukan juga hanya jalan-jalan ke luar negeri dengan kata “studi banding”. Namun, selain tugas utama dalam membentuk Undang Undang, budgeting (anggaran pendapatan dan belanja), serta pengawasan kebijakan pemerintah, DPR juga harus cermat dan benar dalam menguji, menyetujui calon duta besar dan konsul, ketua KPK, ketua berbagai komisi nasional, perjanjian antar negara, amnesti, abolisi. Disamping itu, DPR harus cerdas (memiliki pengetahuan) dalam mengajukan hak interplasi, angket dan menyatakan pendapat. Masih banyak lagi tugas-tugas besar dan penting yang dihadapi oleh anggota DPR, misalnya pemilihan anggota BPK, menyetujui ketua Hakim Agung, anggota Komisi Yudisial, yang secara umum dibagi dalam komisi-komisi DPR.

Jika kita melihat dengan cermat tugas-tugas DPR, sudah semestinya orang-orang yang berkompeten (cerdas, berpengetahuan, beretika-moral, berjiwa sosial) yang mengajukan diri sebagai wakil rakyat. Akan menjadi sangat sulit sekali DPR berkualitas, jika hanya segelintir dewan yang benar-benar berkompeten berjuang, sedangkan sebagiannya lagi tidak hadir dikala rapat, bolos di waktu sidang, dan absen di hampir setiap rapat paripurna.

Dari penjelasan ini, jelas bahwa seorang DPR harus memiliki etikad, semangat, pengetahuan dan keuletan tinggi, atau dalam kata lain “pengabdian”. Jika para tentara berjuang dengan mempertaruhkan nyawa demi setiap jengkal tanah, maka sudah seyogianya para anggota dewan berjuang dengan mempertaruhkan pikiran dan tenaga demi kemajuan bangsa ini. Ingat…DPR adalah untuk melayani rakyat, mengaspirasikan kepentingan rakyat, seluruh rakyat Indonesia, bukan kepentingan partai semata atau bahkan kepentingan pribadi dan keluarga.

Dapatkah DPR 2009 Mengabdi Sepenuh Hati?

Pada pemilu 2009 ini, jumlah caleg DPR RI meningkat hampir 46% dibanding 2004. Dari 7756 caleg DPR, kini meningkat menjadi 11.301 caleg yang akan memperebutkan 560 kursi di Senayan. Persaingannya pun menjadi sangat ketat di 77 daerah pemilihan (dapil) dengan peluang tidak lebih 5% atau seorang caleg harus bersaing dan mengalahkan 19 caleg lainnya. Ketatnya persaingan dalam kampanye identik dengan besarnya dana yang harus dikeluarkan. Meskipun kemenangan dalam pemilu dipengaruhi banyak faktor (image/tokoh/artis, wajah, visi-misi, latar belakang), namun dana kampanye memiliki pengaruh yang besar.

Dengan rendahnya kondisi pengetahuan, pemahaman dan pengenalan sebagian besar pemilih (masyarakat) terhadap tiap caleg dan partai, maka caleg-caleg berkualitas akan mengalami kesulitan untuk terpilih jika tidak memiliki strategi dan dana yang besar untuk berkampanye. Hal ini diperburuk dengan jeleknya mekanisme pencalegan yang dilakukan oleh tiap partai. Umumnya partai lebih mengakomodasi caleg yang berduit, terkenal (artis) ketimpang berkualitas yang mampu mengerjakan tugas-tugas besar DPR.

Dengan sistem suara terbanyak pada pemilu 2009, maka seorang caleg tidak hanya bersaing dengan caleg dari partai lain, namun harus bersaing dengan rekan separtainya. Caleg yang berkualitas namun belum dikenali secara luas oleh masyarakat akan sulit terpilih jika tanpa publikasi (kampanye) yang efektif. Lagi-lagi faktor dana/uang menjadi komposisi yang besar.

Kondisi ini diperburuk dengan meningkatnya animo sebagian caleg yang hanya mengejar harta, tahta, nama, (dan mungkin wanita). Bayangkan saja jumlah caleg DPR RI naik hingga 45% dibanding periode sebelumnya. Implikasinya adalah turunya peluang untuk terpilih. Disisi lain, masyarakat akan semakin binggung dengan begitu banyak orang yang menyampaikan bualan-bualan (janji) yang serupa dengan polesan yang berbeda. Ditambah dengan sejumlah perilaku buruk anggota dewan periode 2004-2009 seperti korupsi, skandal seks, pemerasan, bolos, berselancar ke luar negeri hingga sikap apatis dengan penderitaan masyarakat, maka banyaknya caleg akan membuat masyarakat semakin apatis alias golput.

Bertambahnya jumlah caleg yang seharusnya memberikan banyak pilihan alternatif bagi pemilih, justru akan membuat masyarakat semakin binggung memilih pemimpin/wakil rakyat yang tepat. Brosur, stiker, poster, spanduk hingga baliho yang besar hanya menampilkan foto besar disertai kalimat persuasi yang sama dilakukan caleg yang beruang besar.

Biaya Besar Menuju Senayan

Berbeda dengan tahun 2004, dimana untuk mendapatkan sebuah kursi seseorang lebih mengandalkan investasi ke partai (suara partai), kini dengan mekanisme suara terbanyak, para caleg harus mengeluarkan dana ekstra. Selain “dana pendaftaran” khusus ke partai, mereka harus menyiapkan sejumlah dana ekstra untuk mempopulerkan diri mereka masing-masing ke publik. Dari dialog-dialog di sejumlah media televisi (termasuk pengakuan), biaya rata-rata yang dikeluarkan seseorang untuk pemilu 2009 berkisar antara 200 juta hingga 1.5 miliar. Namun, dengan dana besar belum tentu akan terpilih. Jika saya ambil rata-rata biaya yang harus dikeluarkan caleg sebesar 400 juta, maka hanya untuk pencalegan DPR harus menghabiskan 4.4 triliun rupiah.. wow… Belum lagi dana untuk pencalegan DPRD I dan II, dana KPU, dana sumbangan ke partai dan masih banyak lagi. Sehingga angka 50 triliun sangat mungkin tercapai untuk 2009 ini.

Dengan besarnya biaya yang dikeluarkan dan peluang kemenangan kecil, tidak tertutup kemungkinan mereka yang kalah dalam pemilu akan stress, depresi, tekanan jiwa hingga sakit jiwa. Hal yang sangat fenomenal adalah calon bupati Ponorogo 2005-2010 yang masuk rumah sakit jiwa setelah gagal merebut kursi bupati padahal telah mengeluarkan miliaran rupiah. Namun, jika saja mereka terpilih, maka secara materi mereka akan memperoleh “keuntungan investasi” yang besar yakni 2.5 miliar dalam 5 tahun meskipun mereka sering bolos seperti para senior-senior mereka saat ini. Bahkan jika mereka rajin hadir dalam rapat, aktif dalam tim pengesahan Undang-Undang, hak angket, ketua pansus dan sejenisnya, maka seorang DPR mampu meraup Rp 3-4 miliar per 5 tahun. Angka yang cukup untuk mendapat gelar miliarder ditengah 35 juta rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan.

Dan pada tahun 2009 ini, dengan sistem suara terbanyak serta besarnya biaya investasi yang harus dikeluarkan oleh para caleg, saya berharap (seraya berdoa) mereka yang hanya mencari kursi DPR demi harta (investasi), kekuasaan, dan nama gagal terpilih meskipun telah menghabiskan ratusan juta rupiah. Dan saya berharap mereka yang menjadikan DPR sebagai profesi (bukan pelayanan) kapok seraya berkata “Aku kapok jadi Caleg DPR”.

Bisakah DPR bukan menjadi ajang Profesi?

Tidak bisa dipungkiri bahwa besarnya gaji dan tunjangan yang diperoleh oleh tiap anggota dewan (meskipun sering bolos) menjadi faktor penarik terbesar orang-orang mengadu nasib menjadi caleg DPR pada tahun 2009. DPR yang seyogianya menjadi institusi memperbaiki konstitusi, policy negeri ini, lebih hanya mencari kekuasaan belaka oleh partai dan kekayaan oleh para dewan. Dan faktanya masyarakat bingung memilih caleg mana saja yang berkualitas (sebagian besar omdol ketika berkampanye, namun nihil ketika duduk di kursi empuk)

Andai saja gaji dan tunjangan anggota dewan dipangkas hingga 75%, maka animo caleg busuk tidak akan sebesar saat ini. Toh selama 4 tahun ini, meskipun gaji dan tunjangan telah naik berkali-kali, tetap saja DPR merawat kemalasan, tabiat buruknya, tanpa menunjukkan prestasi progresif. Jadi, dengan gaji dan tunjangan kecil, hanya mereka yang bermoral baik serta berjiwa mengabdi dan melayani yang tepat mengisi Senayan. Dan saya masih berkeyakinan bahwa masih banyak orang yang berkualitas yang memiliki motivasi mengabdi untuk negeri ini tanpa harus dibayar (gaji) mahal. Karena, seyogianya DPR adalah lembaga untuk melayani bukan untuk dilayani.
Tepatkah jika saya mengatakan bahwa penghasilan dan gaji yang besar meningkatkan animo caleg tidak berkualitas??

Entri Populer