Tiba-tiba Bocah itu Jadi Pemimpin Maling
MALANG, JUMAT - Ingat Alphonse ‘Al’ Capone, bos gangster mafia yang termasyhur itu? Al Capone, sudah menggeluti kelamnya dunia kejahatan sejak usia 14 tahun. Namun, apa yang dilakukan MR, alias Bsr (13), bocah kelas enam Madrasah Ibtidaiyah (setara sekolah dasar) di kawasan Tajinan, Malang, ini, bisa jadi melebihi apa yang dilakukan Al Capone.
Bagaimana tidak, bocah yang tinggal di kawasan Sumbersuko ini, baru saja memimpin sekelompok temannya, untuk menjarah toko baju milik Muslimin (29), di kompleks ruko Pasar Tlogowaru, Kedung Kandang, Malang. Hebatnya lagi, Bsr, yang sejak Kamis (5/2) diamankan Kepolisian Resor Kota Malang, memimpin sekelompok anak-anak yang usianya lebih tua darinya.
Peristiwa pembobolan toko ini terjadi Kamis (29/1) lalu. Bsr mengaku, sebelumnya telah merencanakan aksi ini. Ide untuk masuk ke dalam toko, muncul ketika dia, bersama Th (13) rekannya satu sekolah, bermain di ladang tebu.
Ladang tebu ini, ada tepat di belakang toko baju milik Muslimin. “Saya lalu mikir, kalau kita jebol dinding belakang, berarti bisa masuk ke dalam toko,” ujarnya. Apalagi, lanjut Bsr, dia tahu toko Muslimin saat itu memang tengah tutup.
Pukul 18.30 WIB, dilakukan juga aksi penjarahan ini. Selain Th, Bsr mengajak dua anak lain. Mereka adalah MB, alias Sn (15), ZR, alias Inl (15). Kedua bocah yang diajak Bsr ini duduk di bangku madrasah tsanawiyah, namun masih satu kompleks dengan sekolah Bsr. Mereka berempat, seluruhnya asal Desa Sumbersuko, Tajinan.
“Sekolah kami semacam pondok pesantren begitu. Beberapa dari mereka ini, tidur di pondokan, Kalau saya pulang ke rumah,” katanya.
Dari rumah, Bsr mengaku membawa linggis milik sang ayah. Linggis ini digunakan untuk melobangi dinding tersebut. Bagian menjebol dinding, justru dilakukan oleh Bsr dan Th, yang notabene usianya paling muda. Sementara Sn dan Inl, bagian berjaga dan melihat keadaan sekitar.
Bsr mengaku, butuh sekitar dua jam untuk membuat lubang pada dinding toko tersebut. “Lubangnya sebesar ini,” kata Bsr, sambil menggerakkan tangannya, membentuk lingkaran dengan diameter sekitar satu meter.
Bersama Th, lanjut Bsr, sengaja tak membuat lubang lebih besar. “Pokoknya sudah cukup buat kami untuk masuk,” ucap bocah dengan badan kecil ini. Saat ditanya, Bsr mulai menangis tersedu-sedu. Bicaranya mulai patah-patah, menahan isak tangis.
Masuk ke dalam toko, Bsr mengambil beberapa kaus oblong warna hitam, celana jeans potongan 7/8, ikat pinggang, dua buah ponsel, masing-masing bermerk Samsung dan Esia, juga uang tunai Rp 20.000.
Puas mengambil barang-barang ini, komplotan penjahat ingusan ini kembali ke pondokan. Di sana, mereka mengumpulkan barang-barang ini, lalu dibagi-bagikan. Sn misalnya, mengaku hanya mendapat jatah lima buah kaus oblong.
Merasa kurang puas, esok harinya, Bsr kembali melakukan aksi ini. Kali ini dia mengajak temannya yang lain, yaitu BS alias Slm (14). Pengakuan Bsr, ada lagi temannya bernama Ul (15) yang ikut serta. Namun dia heran mengapa Ul belum ditahan polisi.
Dalam aksi kedua ini, mereka masuk melalui lubang yang sama. Mereka mengambil beberapa sandal, ikat pinggang, dan kaus sepakbola. Seperti sebelumnya, setelah menjarah, mereka lari ke pondok, dan mengumpulkan barang jarahan ini disana.
Empat hari berselang, Bsr puas, aksi mereka rupanya berjalan mulus dan tak tercium siapapun. Namun, Kamis (5/2), saat Bsr, Th, dan para tersangka lainnya mengikuti pelajaran di kelas masing-masing, mendadak kepala sekolah memanggil mereka.
Wajah mereka langsung pucat, ketika beberapa petugas reserse Polresta Malang, menunggu mereka di ruang guru. Mereka lalu dibawa ke Mapolresta Malang.
Setelah diberi pertanyaan oleh polisi, aksi ini terbongkar. “Jawaban mereka ternyata plin-plan dan menunjukkan kebohongan,” ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Malang, Ajun Komisaris Kusworo Wibowo.
Mereka pun tak mampu lagi menutupi aksi ini, dan mengakui kejadian yang sebenarnya. Dari cara semua tersangka, terlihat jelas para tersangka bukan bocah yang cerdas.
Mereka mengaku tak hafal alamat jelas rumah mereka. Bahkan, ketika para penyidik bersikap galak kepada mereka, mereka tetap mengaku tak tahu alamat rumah mereka. “Saya nggak hafal RT RW-nya Bu,” ujar Bsr, menangis tersedu.
Ketika ditanya mengapa melakukan pembobolan ini, Bsr hanya terdiam. Dia sendiri tak mengerti mengapa melakukan aksi ini. “Nggak tahu, tiba-tiba saja kepikiran untuk masuk ke toko itu,” sebutnya.
Bsr sepertinya juga bukan anak broken home. Sehari-hari, dia mengaku pulang ke rumah, meski pihak sekolah memperbolehkan para santrinya untuk mondok. Selain itu, Bsr mengaku, ibunya sempat meniliknya saat dia diperiksa polisi. Saat mengatakan ini, Bsr semakin kencang menangis.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polresta Malang, AKP Kusworo Wibowo, mengakui sulit untuk menimbang kasus ini. “Mereka anak-anak di bawah umur, tapi kejahatannya sudah seperti profesional. Buktinya terpikir bawa linggius untuk menjebol dinding toko,” kata Kusworo. Apalagi, kata Kusworo, Muslimin, selalu pemilik toko melaporkan kerugian yang dialaminya mencapai Rp 25 juta.
Kusworo mengatakan, nantinya polisi bakal menimbang dulu sampai sejauh mana kejahatan yang mereka lakukan. “Yang jelas, meskipun nanti ditahan, tidak akan kita campur dengan tahanan dewasa,” ucap Kusworo.
Psikolog dan dosen Ilmu Psikologi Universitas Brawijaya, Amir Hasan Ramli mengatakan, kondisi psikologis anak-anak hingga remaja sangatlah labil. Artinya mereka masih mudah terpengaruh dan meniru mengenai segala hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
“Anak-anak kerap melakukan sebuah proses yang disebut proses imitasi, atau meniru dari lingkungan yang ada disekitarnya,” ucapnya.
Dengan kata lain, jika lingkungan disekitar jelek atau negatif maka sangat potensial anak tersebut akan mempunyai perilaku yang mengarah pada hal-hal negatif. Terlebih jika figur-figur disekitar anak juga mempunyai sifat-sifat yang buruk.
“Sangat mungkin anak meniru dari apa yang didengarnya atau dilihatnya, misalnya ketika ada seseorang yang menceritakan tentang si A yang baru saja mencuri tapi tidak tertangkap. Anak tersebut bisa saja kemudian mencoba meniru mencuri dan kalau berhasil akan muncul perasaan bangga bisa meniru perilaku figur yang dikenalnya. Anak-anak itu masih suka melakukan try and error, mencoba sesuatu,” lanjut Amir.
Terkait kasus kenakalan yang sudah ditangani oleh polisi, Amir hanya mengingatkan agar pelaku harus mendapatkan perlakukan berbeda karena masih di bawah umur.
“Jangan sampai ada kekerasan fisik maupun psikis kepada anak tersebut. Karena kekerasan-kekerasan yang diterima hanya akan membuat trauma bagi sang anak.”