Jalan Menuju Perdamaian
Ketika Mortenson berusia tiga bulan, orang tuanya membawanya pergi dari Minnesota ke Tanzania di Afrika Timur dan bekerja sebagai misionaris selama 13 tahun.
Saat Mortenson remaja dan kembali ke Amerika Serikat, dia mengalami perlakuan tidak adil dan rasisme saat duduk di Sekolah Menengah Atas. Oleh teman-temannya dia dipanggil “Si Afrika”.
Setelah saudara perempuannya, Christa, meninggal dunia akibat serangan penyakit Epilepsi, dia bersumpah untuk mengenangnya. Melalui kegemarannya mendaki gunung, pada 1993 dia mendaki salah satu gunung yang paling sulit ditaklukan di dunia, K2 di Utara Pakistan, hendak meninggalkan kalung Christa di puncak gunung tersebut. Setelah melalui perjalanan berbahaya selama 78 hari, dia gagal.
Ada sebuah pepatah kuno Parsi, yaitu “ Ketika hari cukup gelap, Anda bisa melihat bintang.”
Setelah gagal mencapai puncak K2, Mortenson menghabiskan waktu di Desa Korphe, Pakistan Utara. Dia melihat sesuatu yang membuat hatinya teriris.
Di sebuah halaman sekolah yang tanpa gedung dan sosok guru, 84 orang anak, 79 orang anak laki-laki dan 5 orang anak perempuan, sedang menulis dengan sebilah tongkat di tanah untuk belajar.
Menurut Mortenson, sepertiga bayi yang lahir di wilayah itu meninggal sebelum berumur satu tahun. Pendapatan kaum pria adalah 400 dollar setahun dan kaum perempuan yang melek huruf rata-rata di bawah 5 persen. Kemudian Mortenson berjanji kepada salah seorang murid perempuan, bahwa dia akan mendirikan sebuah sekolah untuk desanya.
Dia kembali ke Amerika Serikat dan mengirim surat kepada para selebritis guna menghimpun dana. Sampai 580 surat yang dikirimnya, Mortenson mendapat respons, sebuah cek senilai 100 dollar dari Tom Brokaw.
Sebuah sekolah di Westside Elementary di River Falls, Wisconsin, AS, mendengar usaha gigihnya lalu mengundang Mortenson untuk berbicara. Lalu, para guru dan murid menyumbang dan terkumpul sebanyak lebih dari 62,000 sen. Sejak saat itu, organisasi yang mereka dirikan diberi nama Pennies for Peace (Sensen untuk Perdamaian). Kini ia telah mendonasikan lebih dari 16 juta sen dari 700 sekolah di Amerika Serikat.
Mortenson juga menjual barang-barang yang ia miliki. Dia menghubungi pendaki gunung terkenal bernama Jean Hoerni, yang telah mendonasikan sisa dana bagi sekolah pertamanya. Dia juga mendapat bantuan dari Desa Korphe, yang menyediakan pekerja yang tidak mahir serta beberapa material bahan bangunan. Bersama-sama, mereka telah membangun sebuah sekolah.
Ada sebuah pepatah di Afrika, “Jika Anda mendidik seorang anak laki-laki, ini berarti Anda mendidik seorang individu. Jika Anda mendidik seorang gadis, maka berarti Anda mendidik suatu komunitas.” Seorang anak laki-laki akan pergi untuk menempuh hidupnya. Seorang gadis akan tetap tinggal di dalam komunitas, dan pendidikan yang telah diberikan kepadanya akan bertahan terus.
Dia meneruskan, “Di negara ketiga, jika Anda mendidik anak-anak perempuan sampai kelas lima, berarti Anda telah mengurangi tingkat kematian pada bayi. Anda akan mengurangi ledakan jumlah penduduk, dan Anda telah meningkatkan indeks kualitas hidup. Di Pakistan dan Afghanistan, sekelompok perempuan harus berjalan selama tiga jam ke sekolah untuk duduk di atas sebuah alas tanah untuk belajar.”
Di belakangnya, ditampilkan gambar slide penduduk dan desa-desa di Pakistan dan Afganistan, menggiring para hadirin ke suatu daerah yang sangat terpencil yang detailnya ia jelaskan sampai menyentuh hati.
“Untuk mengerti kemiskinan, Anda harus merabanya, menciumnya, dan merasakan itu. Para pejabat yang berada di Washington D.C tidak akan dapat mengubah kemiskinan karena mereka sendiri belum pernah berada di sana.”
Sejak 1996, organisasi non-profit Mortenson yang dinamakan “Institut Pusat Asia,” telah membantu membangun lebih dari 60 sekolah di daerah pegunungan Pakistan dan Afghanistan yang sangat terpencil.
Mortenson mengakhiri presentasinya dengan sebuah data statistik yang mengejutkan akan kebutuhan pendidikan. “Terdapat 145 juta orang anak di dunia yang tidak dapat bersekolah.”
Jim Miller, Direktur Pusat Penanganan Buta Huruf San Diego City College, mengatakan bahwa tanggapan terhadap Greg Mortenson sangat berlimpah. “Setiap tempat duduk theater selalu penuh, dan banyak orang rela berdiri di luar. Orang-orang merasa tergerak dengan kisah-kisah yang ada, dan terpesona oleh Mortenson. Hal menarik yang selalu dilakukannya ialah dengan mengangkat masalah geopolitik yang cukup besar seperti halnya kemiskinan di Afghanistan dan dia menggambarkannya sedemikian rupa sehingga orang-orang bisa memahaminya.”
Luis Perez, konselor dan pelatih pengem-bangan kepribadian di San Diego City College menghadiri presentasi Mortenson dan mengatakan, “Saya sangat takjub dengan pengaruh pribadinya yang besar terhadap begitu banyak kehidupan lainnya. Greg Mortenson mengingatkan saya tentang energi yang kita miliki dan pengaruh yang dapat kita ciptakan bila kita mengombinasikan energi itu dengan kesediaan kita dalam memberi, tetapi juga harus berhenti sejenak untuk mendengarkan kebutuhan masyarakat yang akan kita layani.”(Epochtimes/mer)