Bengkel Sepeda
Simbah Ngatidjo sesekali gelisah, memikirkan apa yang bisa menggantikan beberapa bagian yang rusak berat. Mau apa dikata ? sudah uzur, dimakan zaman dan udara peradaban. Beberapa bahkan terlahir sebelum Simbah Ngatidjo lahir. Untuk menciptakan terasa mustahil karena peralatan yang dipakai pun masih jaman baheula, pabrik penciptanya pun sudah tergerus oleh mesin yang berefisiensi tinggi. "Mau diganti pun, tak bisa menggantikan yang orisinil, beberapa bulan saja pastilah akan rusak. Besi jaman sekarang memang berkualitas rendah daripada jaman. Dasar akal panjang, dengan sigapnya Mbah Ngatidjo mengubek-ubek gudangnya yang penuh dengan aneka onderdil selama 20 tahun ini. "Nah...ini dia", senangnya, lalu dengan cekatan Mbah Ngatidjo mengganti 'bos' sepeda, semacam bgian dari pedal sepeda, yang nampak karatan disana-sini. "Seidaknya akan membuat bertahan lebih lama",
ujarnya. Terletak di Jalan Wates, KM 3,5 Yogyakarta rumah keseharian Mbah Ngatidjo menikmati hari-hari tuanya sebagai tukang servis sepeda. Sebenarnya, bukan rumah manusia, tapi rumah sepeda tua yang bermukim disana. " Sepeda onthel mas", seraya meluruskan istilah kebanyakan sepeda yang hilir mudik di rumahnya. Sepeda onthel (onthel = kayuh, bahs. jawa) adalah suatu jenis sepeda yang kebanyakan dipakai di pedesaan Jawa, selain juga jengki. Bedanya secara spintas, onthel nampak begitu besar, gagah dan keren, sedang jengki nampak lebih kecil, simple dan lebih luwes. Onthel pada jamannya dulu sering dipakai para administratur Belanda ketika menyusuri kebun tebu di bilangan Godean, Wates dan
Bantul. Seragam putih dan topi putih selalu menyembul dari kejauhan saat administratur mendekat, tentu saja disambut oleh kengerian luar biasa oleh para bocah pencuri tebu. Bisa dipastikan mereka akan tunggang langgang melihatnya. Chepas, fotografer pertama di koloni Indonesia, merekam pula jejak sepeda onthel ini ketika jadi tunggangan para tuan tanah. Sudah sejak 1968 Mbah Ngatidjo belajar servis sepeda. Pada tahun-tahun itulah, sepeda onthel menjadi tahun jayanya. Paska Gestapu, situasi politik pedesaan Jawa yang carut marut, ekonomi belum pulih, infrastruktur jalan yang belum maju dan merebaknya pengangguran menjadikan sepeda onthel selain jadi favorit kendaraan kelas menengah, juga menciptakan rantai ekonomi lanjutan, seperi bisnis onderdil sepeda, jual beli sepeda dan penservisan. Mbah Ngatidjo pun memilih jalan hidupnya. Setelah sempat berpindah kios selama beberapa kali, karena kontrakan habis, Mbah Ngatidjo pun membeli sepetak tanah di pinggiran Jalan Wates untuk membikin bengkel. Beliau yakin, masa depannya ada di sana. Jalan Wates sejak dari 30'an dikenal sebagai jalur penghubung Purworejo, kota militer Belanda, dan Yogyakarta, dengan Ambarketawang, sebagai kota transit. Bengkel Mbah Ngatidjo, selalu berada di jalur supersibuk Purworejo-Yogyakarta. "Pada dasarnya, sepeda onthel itu awet karena besi eropa," ujar Mbah Ngatijo. Biasanya yang diganti adalah bagian yang sering aus, seperti gir, laker, rantai, pelek dan pedal. Semakin tinggi mobilitasnya, bisa dipastikan makin tinggi pula tingkat ausnya. Tak hanya tempat servis, bangkel menjadi tempat kongkow para penikmat sepeda onthel, jadi markas besar PODJOK (Paguyuban Onthel Djogjakarta). Mbah Ngatidjo pun didaulat sebagai sesepuh Podjok. Setiap akhir pekan, para komunitas Podjok berkelanan susuri kota Yogyakarta. Sesekali, jika ada acara komunitas di kota lain, misalnya Klaten atau Solo, komunitas Podjok pun tak segan-segan mengayuh kakinya bebarengan menuju ke sana. "Onthel niku migunani kagem sedaya" (bhs. Jawa, artinya onthel itu berguna buat semua), berguna buat kekerabatan, persekawanan, kesehatan badan dan rekreasi. Setiap harinya, hilir mudik para komunitas sepeda onthel pun keluar masuk dari bengkel. Ada saja yang dirasa tak mengenakkan onthel ketika digenjot akan dibawa ke bengkel, mendapat pertolongan pertama disana. Mereka percaya Mbah Ngatijo dengan dibantu dua putranya mampu membuat sepeda tua mereka menjadi sehat lagi. Modal kepercayaanlah yang membuat bengkel ini terus hidup, sampai sekarang.