Habibie, Tan Malaka dan Soemitro Djojohadikusumo
Ketiga orang itu adalah tiga di antara orang super-cerdas di muka bumi Indonesia ini: Habibie, Tan Malaka dan Soemitro Djojohadikusumo. Ini merupakan kumpulannya orang-orang cerdas, namun juga sekaligus –mengikut baris Chairil Anwar – kumpulannya yang terbuang.
Habibie adalah anak emas kaum eksakta di negeri ini. Belum ada yang bisa melebihi botak jidat Habibie untuk urusan pesawat terbang. Kalaulah Soeharto tidak mengemis kepadanya di Jerman, niscaya sejarah Indonesia tidak akan pernah mencatatkan dirinya sebagai salah seorang Presiden di negeri ini. Kini, dia dan dirinya hidup di Jerman. Percayalah, dia memang sedang merawat istrinya yang sakit di negeri Hitler itu.
Habibie-lah yang membuat setiap anak di negeri ini ingin hidup dan ingin punya cita-cita, dan kemudian berujar dengan mata berbinat-binar, ”Ingin menjadi Habibie”. Di saat Indonesia masih lagi bertelanjang kaki dan mengayuh sepeda, Habibie telah jauh mengangkasa. Dialah yang menepis anggapan kalau bangsa Indonesia seharusnya bukanlah mental geblek, tidak lagi sebagai bangsa jongos, bangsa kuli, bangsa yang cuma bisa menanam singkong! Bangsa Indonesia ini, saudara-saudara, adalah bangsa yang sederajat dengan bangsa-bangsa yang mempunyai kehormatan, martabat, harga diri, marwah dan jati diri sebagai manusia sejati, manusia yang selalu mencari, selalu ingin maju, selalu ingin terbang melintasi relung-relung angkasa raya: alam semesta.
Tan Malaka adalah anak emas kaum pergerakan sosialis. Namun, saudara-saudara, Tan Malaka ternyata jauh lebih besar dari ideologi sosialisme itu sendiri. Bahkan, “sosialisme” gaya Tan Malaka justru lebih sering disalahartikan oleh mereka-mereka yang terpesona dengan paham itu. Di sisinya yang lain, dia adalah ruang luar dari bingkai tiga serangkai Soekarno-Hatta-Sjahrir, dia punya kamar sendiri. Namun, simaklah foto tiga serangkai antara Soekarno-Hatta-Sjahrir yang legendaris itu. Anda akan melihat bagaimana body languange Sjahrir menunjukkan “keseganannya” duduk bersama sang dwitunggal. Tan Malaka sekali lagi, berada di luar arus dwitunggal ataupun tiga serangkai itu.
Hidupnya dihabiskan di negeri orang dan harus bersusah-susah menjadi buronan, dikejar sana-sini mulai dari Singapura hingga Vietnam. Mulai Cina hingga ke Medan, Sumatera Utara. Tak jelas, apakah dia wafat karena sakit ataukah karena dia ditembak tentara. Yang jelas, dia telah mati. Kematiannya membawa kesedihan luar biasa di kalangan kaum intelektual, karena di diri Tan-lah melekat orisinalitas ide yang dikeluarkan oleh “metode riset ototidak” yang membuat tergagap-gagap kaum intelektual tanah air. Jangan ragukan kawan kita yang satu ini. Seandainya Karl Marx hidup, niscaya antara Tan Malaka dan Marx akan terlibat perdebatan super panjang mengenai makna sosialisme dan komunisme. Hegel dan Engels pun mungkin akan geleng-geleng kepala melihat pria bertubuh kecil ini. Untuk menafsirkan Materialis Dialektika Logika-nya Tan Malaka, maka Anda harus khatam dulu puluhan buku-buku pengantarnya. Apa itu? Cari sendiri.
Dan yang ketiga adalah Soemitro Djojohadikusumo. Saudara-saudara sekalian, Indonesia telah sangat-sangat bodohnya, “menjatuhkan” predikat pria ringkih perokok berat ini menjadi hanya sekedar “begawan ekonomi”. Sesungguhnya, dia jauh lebih dari itu. Jalan hidupnya telah mendobrak pakem pemikiran “ekonomis” yang tahunya hanya berhitung untung-rugi. Dia menggenggam senjata, menghitung pasokan senjata untuk PRRI-Permesta, melawan sosok bernama Soekarno di saat orang-orang masih melongokkan mulutnya ketika melihat sosok sang proklamator itu, dan dia pula yang telah memprediksi kejatuhan ekonomi Indonesia lima tahun sebelum Indonesia bangkrut di 1997. “Alhasil, ini bukan pat gulipat, angka 30% bukan datang dari langit, atau dari paranormal Permadi!” kata dia. Dia adalah segelintir orang di muka bumi ini yang pada 1953 oleh Sekjen PBB diangkat sebagai anggota lima ahli dunia (group of five top experts).
Di usianya yang baru 26 tahun, dia telah merengkuh gelar doktor ekonomi dari Universitas Sorbonne Perancis, sebuah universitas di mana cendekiawan muslim paling dihormati di Iran, Ali Shari’ati, meraih gelar doktornya. Dia diminta nasehat oleh Sjahrir, Soekarno, Soeharto, Habibie dan Abdurrahman sebagai penasehat ekonomi, bagaimana jalan agar sebuah rumah Indonesia bisa didirikan, berapa harga tanahnya, kayu dan atap-atapnya. Kemudian dimintai nasehat bagaimana agar seisi rumah bisa mendapat sesuai nasi. Dan lantas, dimintai pula nasehatnya bagaimana agar rumah Indonesia yang kemudian diruntuhkan kekuasaan itu bisa diperbaiki kembali.
Namun, seperti juga Tan Malaka, hidup Soemitro adalah hidupnya seorang buronan. “I’ve been through worst. Ini bukan yang pertama kali!” katanya lantang. “Ujian buat saya dalam kehidupan jauh lebih dari itu, habis dari menteri lalu tiba-tiba jatuh jadi buronan, hahaha…!”
* * *
Anak Habibie ada, tapi sekarang mereka lebih senang bermain pesawat terbang. Namun, Habibie saat ini masih hidup, dan mari harapkan agar dia bisa menempeleng anak-anaknya agar jangan sekedar memegang main-mainan.
Sementara anak Tan Malaka jangan ditanya. Bahkan, sejarawan kita pun masih bertengkar apakah Tan Malaka ini punya anak atau tidak. Namun, mari doakan agar anak-anak intelektual Tan Malaka tidak hanya bermain-main di ranah-ranah underground, menjadi cacing ataupun semut, yang gemar menggali-gali di bawah tanah. Karena hidup sesungguhnya, toh, ada di permukaan tanah.
Soemitro? Hampir seluruh orang tahu, Prabowo Subianto adalah anak ketiga dari Soemitro. Anak ketiga yang nama “Subianto”-nya diambil dari nama adik Soemitro yang mati ketika berperang melawan Jepang, itu, kini hendak menjadi Presiden. Soemitro sudah wafat, karena itu mari doakan semoga Prabowo yang disebut jenderal cerdas itu, jangan hanya terlena dengan “keburonan” Bapaknya, dengan keangkuhan militer di negeri ini, dengan gurita jaringan duitnya. Karena, sejarah Soemitro telah menahbiskan perlawanannya terhadap kekuasaan yang korup, kekuasaan yang sentralistis, kekuasaan yang telah menjatuhkan derajat kemanusiaan Indonesia ke dalam lembah perbudakan.
Ingat pula, ketiga nama di atas hanyalah sedikit dari tiga nama yang diam-diam telah dipeti-eskan oleh sejarah-sejarah Indonesia yang ditulis oleh tinta kekuasaan yang penuh kebodohan. Kekuasaan memang harus diambil, kekuasaan memang harus direbut. Yang jadi pertanyaan, ke mana kekuasaan itu akan dibawa … (*)