Krisis Gaza Menanti
”Change, We Believe In”. Begitu tema kampanye Presiden AS terpilih, Barack Obama, yang menjanjikan perubahan ”wajah” AS, baik di dalam maupun di luar negeri. Menjelang pelantikan Obama, banyak pihak harap-harap cemas menanti ”perubahan” kebijakan AS, terutama yang terkait dengan isu Timur Tengah.
Agresi Israel di wilayah Jalur Gaza membuyarkan segala upaya perdamaian pemerintahan Presiden AS George W Bush yang dimulai di Annapolis, AS, November 2007. Bisa dikatakan, AS harus kembali ke ”titik nol”, mengulangi semua proses perundingan perdamaian antara Palestina dan Israel, terlebih lagi di antara Israel dan kelompok pejuang Hamas di Jalur Gaza.
Kini Mesir dan Eropa lebih aktif mengupayakan perdamaian dan gencatan senjata antara kedua pihak mengingat AS hanya diam saja dan ”membela” Israel. Bahkan, Obama yang diharapkan membawa perubahan itu jauh-jauh hari sudah menunjukkan keberpihakannya kepada Israel. ”Jika ada orang yang menembaki rumah saya dengan roket, saya pun pasti akan melakukan apa saja untuk menghentikannya. Saya tidak heran jika Israel melakukan itu,” kata Obama ketika berada di kota Sderot, Israel, Juli lalu.
Karena AS diam saja, kini roda diplomasi dan perundingan lebih banyak ada di tangan Eropa. Namun, peneliti dari LIPI, Siswanto, dalam diskusi Kompas bertema ”Change for The Future: Amerika di Bawah Obama”, 13 Januari lalu, menyebutkan, konflik Israel-Palestina tidak akan pernah selesai jika hanya dilakukan perundingan perdamaian di tataran internasional. Kuncinya justru ada di dalam negeri AS. Pemerintahan AS mau tak mau harus mengendalikan kekuatan Israel yang berada di AS untuk mewujudkan perdamaian di Timur Tengah (Timteng).
Kebijakan AS di Timteng tak akan pernah berubah jika sektor perekonomian dan media massa—misalnya—yang sebagian besar dikuasai kaum Yahudi di AS tidak dikendalikan. ”Jika kekuatan itu bisa dikendalikan, pemerintahan Israel diharapkan akan melemah,” kata Siswanto.
Harian The New York Times juga ragu akan ada perubahan kebijakan dalam isu Palestina-Israel. Kebijakan Obama diyakini tidak akan jauh berbeda dari Bush. Paling-paling Obama mengajak komunitas internasional mendesak Hamas menghentikan serangan roket ke Israel. Obama bisa saja mengupayakan perdamaian antara Israel dan Palestina di Tepi Barat yang dipimpin Presiden Palestina Mahmoud Abbas dengan harapan Hamas akan ikut terpengaruh. Namun, itu sudah dilakukan Bush dan sejauh ini tak ada hasilnya.
Berbeda dengan pemerintahan Bush, Obama paling tidak akan mengubah wajah kebijakan luar negeri AS ”ala Bush” yang cenderung unilateral. Obama akan lebih mengembangkan kebijakan multilateral dan mengedepankan upaya diplomasi daripada cara militer yang menjadi ciri khas Partai Republik.
Harian USA Today melaporkan perbedaan Bush dan Obama ada di level diplomasi. Obama akan menunjuk utusan khusus Timteng seperti yang pernah dijabat penasihat Obama, Dennis Ross, di era Presiden Clinton. Posisi ini penting jika AS serius ingin menyelesaikan isu Palestina-Israel. Perundingan tidak kunjung berhasil karena Bush tak memiliki mediator efektif.
Bukan perang agama
Dalam diskusi Kompas, salah seorang peserta mengemukakan kekhawatiran adanya anggapan salah kaprah publik bahwa perang di Gaza adalah perang agama. Persepsi salah kaprah itu bisa muncul karena kurangnya pemahaman akan sejarah konflik Palestina-Israel. Selain itu, pemberitaan televisi, seperti CNN dan Al-Jazeera, juga bisa memengaruhi opini publik. Agar mengerti duduk perkara yang sebenarnya terjadi di Gaza, panelis dan peserta diskusi berharap media massa dapat memberikan pemahaman mendasar bahwa perang di Gaza bukanlah perang agama, tetapi semata-mata perebutan wilayah dan pendudukan Israel di wilayah Palestina. Mayor Jenderal TNI (Purn) Dadi Susanto dari Departemen Pertahanan RI berpendapat, agresi Israel hanya upaya menunjukkan bahwa Israel bukan ”macan ompong”, tetapi macan betulan. (LUK)
sumber:
http://cetak.kompas.com