Baru Sepuluh Menit Pamit dari Rumah
|
Dari ketiga korban, Sri Sukasih (39) dan Yesi Oktofiana (8) adalah ibu dan adik kandung Eka, sementara Sugeng Riyanto (15) adalah temen dekat Eka.
Tragedi yang tak akan pernah terlupakan sepanjang hidupnya itu bermula saat Eka mendengar kabar adanya kecelakaan kereta di desa tetangganya, Tegalkuning, Kecamatan Banyuurip, yang berjarak sekitar 1,5 km dari rumahnya.
Begitu kuat dorongan batinnya, remaja itu pun bergegas menuju lokasi kecelakaan itu. Tak disangka saat mendekati korban, ternyata ketiga orang yang tergeletak tak bernyawa dan dikerumuni warga itu, adalah tiga orang yang baru saja pamit kepadanya.
Air matanya pecah, suaranya menjerit keras sembari berteriak memanggil, ”mamak...mamak...” Kerasnya bebatuan di perlintasan kereta itu tak dihiraukan. Duduk dan terus berteriak histeris, kakinya yang membujur terus digerak-gerakan di atas bebatuan.
Seakan tak percaya perempuan yang mengandung, mendidik, dan membesarkannya menemui ajal dengan jalan yang amat mengenaskan.
Eka pun berusaha menyentuh mayat ibu, adik, dan teman dekatnya yang masih tergeletak di pematang irigasi persawahan itu. Tapi petugas kepolisian sigap melarangnya.
Terus Meronta
Dibantu warga, petugas pun membawa gadis yang masih duduk di bangku kelas III SMP ini menjauh dari ketiga mayat itu. Remaja itu terus meronta dan tetap berusaha mendekati ketiga mayat itu.
Namun seorang warga berhasil menenangkan, kendati dia masih terus-menerus memanggil ibunda tercintanya. Untuk menjaga emosinya, warga pun berinisiatif mengantarkan anak sulung itu pulang ke rumahnya di RT 1 RW 1 Dusun Montelan, Desa Kertosono, Kecamatan Banyuurip.
Sampai di rumah, kondisinya masih sepi. Neneknya, Painten (70) masih pengajian di mushala dekat rumah. Ayah Eka, suami dari Sri Sukasih, Heri Hartono (44) masih berada di tempat kerja, proyek perumahan Grantung, Kecamatan Bayan.
Saat Suara Merdeka mendatangi rumah duka, Eka masih berteriak memanggil ibunya. Hanya ada beberapa warga perempuan yang terlihat menenangkannya. Nenek Painten terlihat bingung melihat cucunya menangis sehisteris itu. Dia pun ikut menangis, sesekali menggunakan kerudung putih yang masih dipakainya untuk menyeka air mata.
Beberapa saat kemudian, Heri yang dikabari soal kecelakaan tragis itu pulang. Dia terlihat lebih tabah, meski matanya berkaca-kaca. Untuk menenangkan Eka, Heri pun berinisiatif membawa Eka ke rumah tetangga agar tidak melihat jenazah ibu dan adiknya, Yesi Oktafiana.
Heri mengaku tidak memiliki firasat apapun sebelumnya. Dia menceritakan, istri dan anaknya yang diantarkan Sugeng itu akan kondangan ke Desa Krandegan. Kebetulan jalan di sebelah selatan rumah korban sangat jelek karena belum diaspal.
Menurut Heri, korban kemudian memilih memutar lewat jalan halus di sebelah barat Stasiun Montelan. Jalan memutar itu tembus jalan di Desa Tegalkuning kemudian melewati perlintasan tanpa palang pintu.
Tapi jalan yang mulus itulah ketiga korban itu menemui ajalnya. Heri mengatakan, seandainya ketiga korban mau melewati jalan yang rusak itu kecelakaan tersebut tidak akan terjadi. Jalan itu bisa tembus di Desa Kliwonan, Kecamatan Banyuurip, sekitar satu kilometer sebelah selatan perlintasan Tegalkuning, tempat terjadinya kecelakaan.
”Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah takdir dari Tuhan. Mungkin memang jalan kematiannya harus melalui kecelakaan ini. Berat sekali rasanya, tapi kami harus mengikhlaskannya,” tutur buruh bangunan ini sembari menyeka air mata yang mulai menetes dari kelopak matanya. (Nur Kholiq-77)