Cahaya Penerang
Bagaimana pun minyak tanah belum bisa lepas sepenuhnya dari kebutuhan masyarakat Indonesia, ia akan senantiasa dibutuhkan dalam situasi tertentu... Karena masih banyak yang masih bergantung sepenuhnya pada salah satu komoditas migas ini.
Kalau listrik padam dan lampu mati, masih banyak juga mereka yang membutuhkan pasokan minyak tanah pada lampu teplok. Karena bila kegelapan mulai melanda saat listrik padam, lampu teplok kadang hadir sebagai dewa penyelamat untuk memberikan cahaya penerang...
Lalu darimana sumber bahan bakar lampu darurat itu kalau bukan dari minyak tanah. Lantas apakah dengan semakin tipisnya distribusi minyak tanah juga ikut membuat lampu teplok, petromaks dan lain-lain akan menjadi barang langka dan layak untuk dimuseumkan.. Oh itu semua hanya waktu yang mampu menjawabnya....
Dialah cahaya penerang waktu listrik belum masuk di Gresik dan Trenggalek saat masa kecil dulu.... Menjadi cahaya penerang saat senja datang dan petang menjelang. Menjadi teman membaca buku pelajaran menggambar waktu TK. Menjadi saksi saat mata mulai mengatup membawaku ke alam mimpi. Dan akhir tahun 80-an hingga awal tahun 90-an saat itu listrik mulai menjamah dan menyambangi Trenggalek lalu Gresik, maka perlahan-lahan ia pun semakin tergusur...
Maka seiring bergulirnya waktu ia pun telah tergantikan oleh pancaran sinar bola lampu yang berpijar akibat arus yang mengalirinya, dan lampu teplok dan petromaks hanya menjadi semacam 'ban serep'. Kala-kala diperlukan saja ia memfungsikan dirinya....
Kalau dulu cahaya lampu teplok serta pancaran sinar petromaks ini menjadi senjata utama saat malam datang, selain cahaya alami dari bulan purnama yang terasa amat sangat terang waktu pada masa itu. Hahaha.. Sangat jauh dengan kondisi sekarang ini, dimana sinarnya tak lebih terang dari lampu pijar 5 Watt...
Bermain-main dengan teman sebaya di bawah sinar bulan purnama adalah suatu anugerah yang tak terkira. Bergerak riang kesana kemari. Berlari, berkejaran... Owh, tidak seperti sekarang seolah kita telah terhipnotis untuk duduk bersila di depan monitor, entah monitor komputer atau televisi...
Sekarang semakin sulit menemui anak-anak kecil yang bermain gobaksodor, lompat tali, betengan, petak umpet dan aneka macam permainan tradisional lainnya saat bulan menampakkan wajahnya di langit malam. Semakin jarang pula orang-orang yang berkumpul bersama bercerita dan menghabiskan malam walaupun hanya sekedar duduk-duduk omong-omong kosong memandangi kerlip bintang dan cahya rembulan. Modernitas membuat aspek manusia sosial kita semakin luntur... Mungkinkah?