Apakah Pamali / Kesialan Itu Ada???? Pandangan Islam
Apakah Pamali / Kesialan Itu Ada???? Pandangan Islam - لاَ عَدْوَ وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَّةَ وَلاَ صَفَرَ
“Tidak ada penularan, tidak ada Thiyaroh, tidak ada Hammah dan tidak ada Shafar”. (HSR. Bukhary-Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Secara bahasa, kata thiyaroh (kesialan/pamali) adalah isim mashdar dari kata tathoyyur yang mana asal katanya adalah tho` irunyang berarti burung. Hal ini karena dulu, orang-orang Arab jahiliyah ketika mereka hendak mengadakan suatu perjalanan maka mereka terlebih dahulu melempar seekor burung ke udara, jika burungnya terbang ke kanan maka mereka melanjutkan rencana keberangkatan mereka karena itu adalah pertanda baik dan jika burungnya terbang ke kiri maka mereka membatalkan perjalanan tersebut karena itu adalah pertanda jelek.
Adapun secara istilah thiyaroh adalah menjadikan/menyandarkan kesialan kepada sesuatu yang dilihat atau yang didengar atau yang diketahui. Contoh sesuatu yang dilihat, bila akan bepergian atau melakukan kegiatan lainnya lalu memperhatikan ke arah mana burung terbang, bila ke kanan maka berangkat, bila ke kiri maka tidak, atau tiba-tiba melihat kecelakaan di luar rumahnya maka ia urungkan niatnya untuk berangkat, atau orang yang berangkat ini tanpa sengaja menjatuhkan piring, gelas atau hal lainnya di dalam rumahnya lantas ia tidak jadi berangkat. Contoh sesuatu yang didengar, bila ia mendengar suara burung hantu atau burung gagak yang hinggap di atas rumahnya, maka ia mengurungkan maksudnya untuk berangkat atau melakukan kegiatan lainnya, atau tiba-tiba orang itu mendengar seseorang berkata kotor atau hal yang mengandung kesialan kepada orang lain atau kepada dirinya sendiri : hai celaka!, hai sial! dan lain-lain, lantas ia mengurungkan maksudnya. Contoh sesuatu yang diketahui misalnya menganggap kesialan dengan waktu, hari, bulan, dan sebagian tahun, misalnya menganggap atau menjadikan kesialan pada malam Jum’at atau hari Jum’at, terlebih pada Jum’at Kliwon atau menganggap angka 13 sebagai kesialan, atau tidak melakukan kegiatan besar pada sebagian bulan-bulan dalam penanggalan Hijriah, misalnya tidak melangsungkan pernikahan atau kegiatan lain pada bulan Syawwal, atau bulan Shafar atau bulan lainnya.
Dan hukum thiyaroh dengan semua bentuk di atas dan selainnya adalah syirik ashgor (kecil) bahkan bisa mencapai taraf syirik akbar (besar) jika dia sudah berkeyakinan bahwa hari itulah atau kejadian yang dia lihat itulah yang sebenarnya mendatangkan mudharat dengan sendirinya keluar dari pengaturan Allah ‘Azza wa Jalla. Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda dalam hadits Ibnu Mas’ ud radhiallahu ‘anhu:
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ
“Thiyaroh adalah kesyirikan, thiyaroh adalah kesyirikan”. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzy dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 429)
Bahkan thiyaroh ini adalah salah satu sifat dari orang-orang musyrik terdahulu, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan tentang Fir’aun dan para pengikutnya :
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Al-A’raf : 131)
Dan juga firman Allah Ta’ala :
قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ. قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
“Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami”. Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu mengancam kami)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas””. (QS. Yasin : 18-19)
Dan dengan bertathoyyur atau mempercayai adanya, maka seorang akan keluar dari 70.000 orang yang masuk Surga tanpa hisab dan tanpa adzab, yang Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam –dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma- telah mengabarkan tentang sifat mereka :
هُمُ الَّذِيْنَ لاَ يَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay (4), tidak bertathayyur dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal” . (HSR. Bukhary-Muslim).
Oleh karena itu, perbuatan tathoyyur ini bisa menafikan tauhid atau mengurangi kesempurnaan tauhid yang wajib, hal ini bisa ditinjau dari dua sisi:
* Bahwa tathayyur ini memutuskan ketawakkalannya kepada Allah dan bersandar kepada selainNya, yang mana hal itu tidak bisa memberikan manfaat dan mendatangkan mudharat.
* Bahwa tathayyur ini menjadikan ketergantungan hati kepada suatu perkara yang tidak ada hakekatnya sama sekali, bahkan ini adalah persangkaan belaka dan takhayul.
Dan tidak diragukan bahwa kedua hal di atas mencacati nilai-nilai tauhid, karena tauhid adalah ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”. (QS. Al-Fatihah : 4)
Dan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda :
وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Jika engkau meminta pertolongan, minta tolonglah hanya kepada Allah”. (HR. At-Tirmidzy dari shahabat ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma).
Maka yang sepantasnya bagi seorang muslim adalah hendaknya dia berpaling dari thiyarah ini dan melanjutkan atau mengerjakan setiap amalan yang hendak dia kerjakan dengan penuh ketenangan, tanpa menyusahkan dirinya dengan perkara-perkara seperti ini, bahkan wajib atasnya untuk menjauhi buruk sangka kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan jangan merasa lemah dalam mengerjakan suatu amalan. Dan sebaliknya dia wajib untuk bersandar dan bertawakkal hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, pasrah kepadaNya, percaya bahwa semua perkara berada di tanganNya dan di atur olehNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Yunus : 107)
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal”. (QS. At-Taubah : 51)